Anak Lahir Tanpa Mulut & Hidung, Warga Lereng Merapi Butuh Bantuan
Magelang - Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ibarat pepatah itulah mungkin nasib yang dialami suami-istri Siti Maonah (30) dan Wahid Widodo (33), warga lereng Gunung Merapi. Setelah harus ikut mengungsi akibat bencana merapi beberapa waktu lalu, kini anak pertama mereka lahir tanpa rongga mulut dan hidung.
Maonah dan Wahid adalah buruh tani yang hidup di bawah garis kemiskinan di Dusun Candi Gelo, Desa Ngadipuro, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah. Mereka memberi nama buah hatinya yang berjenis kelamin perempuan tersebut Istikomah.
Kondisi Istikomah yang lahir pada 22 Februari 2011, tepatnya 43 hari yang lalu sekitar pukul 21.20 WIB itu sangat memprihatinkan. Selain tanpa rongga mulut dan hidung yang tidak utuh, bagian mata Istikomah juga tertutup oleh lapisan yang membuat pengelihatannya menjadi buta.
"Awal mula kelahiran anak saya saya tidak menyangka kalau anak saya setelah keluar dari kandungan ibunya dalam keadaan begini. Saya sangat sedih. Namun, mau bagaimana lagi anak, kan, titipan dari Tuhan harus tetap kami rawat," ungkap Wahid dengan wajah sedih kepada detikcom Rabu(4/4/2011).
Kedua orangtua Istikomah yang lahir dengan berat 3,1 kilogram dan saat ini menjadi 3,4 kilogram itupun berusaha untuk mencari jalan keluar agar anaknya bisa menjadi normal kembali.
"Selama saya hamil, saya tidak berbuat macam-macam. Selalu saya periksakan ke puskesmas setiap bulannya. Tetapi begitu saya melahirkan dan anak saya kondisinya begitu saya langsung bawa ke RSUD Muntilan, Magelang," ucap Siti Maonah kepada detikcom Rabu (4/4/2011).
Di RSUD Muntilan, setelah mendapatkan perawatan beberapa saat, Istikomah akhirnya dirujuk ke RSU Sardjito, Yogyakarta.
Di RSU Sardjito selama tiga hari, beberapa doter menyatakan bahwa saat berada di dalam kandungan, Istikomah meminum air ketuban. Di saat persalinan, bayi malang ini juga terjerat oleh tali plasenta ibunya.
"Sampai di sana dikatakan oleh enam orang tim dokter dan suster kalau anak kami harus menjalani operasi plastik dan operasi mata. Seandainya sudah operasi bibir sumbing dan hidung, kami juga harus menunggu donor mata untuk mengoperasi mata anak saya," jelas Siti Maonah.
Namun, dengan belum memiliki kartu Jamkesmas, kedua pasangan suami istri yang hidup pas-pasan ini harus membayar kira-kira Rp 250 juta bila anaknya ingin menjalani operasi.
"Saya kepengin anak saya bisa normal seperti anak yang lain. Maka, saya minta bantuannya pada semua orang saja karena saya sudah tidak mampu untuk membiayai operasi," ungkap Wahid Widodo dengan nada sedih.
Kepala Desa Ngadipuro, Suhadi Sulaiman, saat mengunjungi kedua pasangan itu menyatakan sudah membantu berusaha semaksimal mungkin membantu kedu pasngan ini untuk mendapatkan keringanan biaya operasi. Namun, karena keduanya yang merupakan pasangan suami istri yang baru saja menikah dan memperoleh momongan hanya sekedar masuk dalam kuota Jamkesda Kabupaten Magelang.
"Kalau terdaftar sebagai anggota belum. Sebab, selain masih sibuk saat erupsi Merapi juga sampai saat ini belum ada pendaftaran Jamkesda yang baru lagi dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang," kata Suhadi.
Magelang - Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ibarat pepatah itulah mungkin nasib yang dialami suami-istri Siti Maonah (30) dan Wahid Widodo (33), warga lereng Gunung Merapi. Setelah harus ikut mengungsi akibat bencana merapi beberapa waktu lalu, kini anak pertama mereka lahir tanpa rongga mulut dan hidung.
Maonah dan Wahid adalah buruh tani yang hidup di bawah garis kemiskinan di Dusun Candi Gelo, Desa Ngadipuro, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah. Mereka memberi nama buah hatinya yang berjenis kelamin perempuan tersebut Istikomah.
Kondisi Istikomah yang lahir pada 22 Februari 2011, tepatnya 43 hari yang lalu sekitar pukul 21.20 WIB itu sangat memprihatinkan. Selain tanpa rongga mulut dan hidung yang tidak utuh, bagian mata Istikomah juga tertutup oleh lapisan yang membuat pengelihatannya menjadi buta.
"Awal mula kelahiran anak saya saya tidak menyangka kalau anak saya setelah keluar dari kandungan ibunya dalam keadaan begini. Saya sangat sedih. Namun, mau bagaimana lagi anak, kan, titipan dari Tuhan harus tetap kami rawat," ungkap Wahid dengan wajah sedih kepada detikcom Rabu(4/4/2011).
Kedua orangtua Istikomah yang lahir dengan berat 3,1 kilogram dan saat ini menjadi 3,4 kilogram itupun berusaha untuk mencari jalan keluar agar anaknya bisa menjadi normal kembali.
"Selama saya hamil, saya tidak berbuat macam-macam. Selalu saya periksakan ke puskesmas setiap bulannya. Tetapi begitu saya melahirkan dan anak saya kondisinya begitu saya langsung bawa ke RSUD Muntilan, Magelang," ucap Siti Maonah kepada detikcom Rabu (4/4/2011).
Di RSUD Muntilan, setelah mendapatkan perawatan beberapa saat, Istikomah akhirnya dirujuk ke RSU Sardjito, Yogyakarta.
Di RSU Sardjito selama tiga hari, beberapa doter menyatakan bahwa saat berada di dalam kandungan, Istikomah meminum air ketuban. Di saat persalinan, bayi malang ini juga terjerat oleh tali plasenta ibunya.
"Sampai di sana dikatakan oleh enam orang tim dokter dan suster kalau anak kami harus menjalani operasi plastik dan operasi mata. Seandainya sudah operasi bibir sumbing dan hidung, kami juga harus menunggu donor mata untuk mengoperasi mata anak saya," jelas Siti Maonah.
Namun, dengan belum memiliki kartu Jamkesmas, kedua pasangan suami istri yang hidup pas-pasan ini harus membayar kira-kira Rp 250 juta bila anaknya ingin menjalani operasi.
"Saya kepengin anak saya bisa normal seperti anak yang lain. Maka, saya minta bantuannya pada semua orang saja karena saya sudah tidak mampu untuk membiayai operasi," ungkap Wahid Widodo dengan nada sedih.
Kepala Desa Ngadipuro, Suhadi Sulaiman, saat mengunjungi kedua pasangan itu menyatakan sudah membantu berusaha semaksimal mungkin membantu kedu pasngan ini untuk mendapatkan keringanan biaya operasi. Namun, karena keduanya yang merupakan pasangan suami istri yang baru saja menikah dan memperoleh momongan hanya sekedar masuk dalam kuota Jamkesda Kabupaten Magelang.
"Kalau terdaftar sebagai anggota belum. Sebab, selain masih sibuk saat erupsi Merapi juga sampai saat ini belum ada pendaftaran Jamkesda yang baru lagi dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang," kata Suhadi.
0 comments:
Leave a Reply